BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sastra
mengandung eksplorasi mengenai kebenaran kemanusiaan. Sastra juga menawarkan
berbagai bentuk kisah yang merangsang pembaca untuk berbuat sesuatu. Apalagi
pembacanya adalah anak-anak yang fantasinya baru berkembang dan menerima segala
macam cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak. Sebagai karya
sastra tentulah berusaha menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan, mempertahankan,
serta menyebarluaskannya termasuk kepada anak-anak.
Sesuai
dengan sasaran pembacanya, sastra anak dituntut untuk dikemas dalam bentuk yang
berbeda dari sastra orang dewasa hingga dapat diterima anak dan dipahami mereka
dengan baik. Ketika akan menumbuhkan apresiasi sastra anak-anak, kita perlu
memahami tingkat perkembangan mereka terlebih dahulu. Pemahaman tersebut dapat
dijadikan bahan pertimbangan ketika kita memilih bahan, memilih bentuk
apresiasi yang dilakukan anak-anak, maupun ketika kita mengidentifikasi
kegiatan tindak lanjut sejalan dengan kegiatan apresiasi sastra yang mereka lakukan.
Kegagalan memahami tingkat perkembangan anak, juga berarti kegagalan dalam
memahami kemampuan anak dalam meresepsi bahan, kegagalan dalam memahami minat
dan motivasi anak, serta kegagalan dalam menentukan tingkat kesiapan anak pada
umumnya. Kegagalan tersebut tentu akan berimplikasi pada kegagalan
kegiatan apresiasi sastra yang dilakukannya.
B.
Pembatasan
Masalah
Agar
lebih fokus dan lebih evisien dalam pembahasan ini maka kami membatasi
permasalahan ini menjadi beberapa sub pokok pembahasan yang meliputi:
pengertian sastra anak, hubungan perkembangan anak dengan sastra anak dan
manfaat sastra bagi anak.
C.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian yang telah dipaparkan secara sepintas kami dapat menguraikan perumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian sastra anak?
2.
Bagaimanakah hubungan perkembangan anak
dengan sastra anak berdasarkan tahapan perkembangan kognitif, bahasa, moral,
dan resepsi sastra anak?
3.
Apa manfaat sastra bagi anak?
D.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut
diatas maka tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
1.
Pengertian sastra anak.
2.
Hubungan perkembangan anak dengan sastra
anak berdasarkan tahapan perkembangan kognitif, bahasa, moral, dan resepsi
sastra anak.
3.
Manfaat sastra bagi anak.
BAB
II
PEMBAHASAN
HUBUNGAN
PERKEMBANGAN ANAK DENGAN SASTRA ANAK
Pengajaran sastra di sekolah dasar (SD) diarahkan terutama pada proses
pemberian pengalaman bersastra. Siswa diajak untuk mengenal bentuk dan isi
sebuah karya sastra melalui kegiatan mengenal dan mengakrabi cipta sastra
sehingga tumbuh pemahaman dan sikap menghargai cipta sastra sebagai suatu karya
yang indah dan bermakna.
Karya sastra anak yang merupakan jenis bacaan cerita anak-anak merupakan
bentuk karya sastra yang ditulis untuk konsumsi anak-anak. Sebagaimana karya
sastra pada umumnya, bacaan sastra anak-anak merupakan hasil kreasi imajinatif
yang mampu menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman dan pengalaman
keindahan tertentu.
Anak usia SD pada jenjang kelas menengah dan akhir sebagai pembaca sastra
telah mampu menghubungkan dunia pengalamannya dengan dunia rekaan yang
tergambarkan dalam cerita. Hubungan interaktif antara pengalaman dengan
pengetahuan kebahasaan merupakan kunci awal dalam memahami dan menikmati bacaan
cerita anak-anak. Bacaan tersebut ditinjau dari cara penulisan, bahasa, dan
isinya juga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan readiness anak.
A.
Pengertian
Sastra Anak
Menurut
Wahidin, sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipaham oleh anak-anak
dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak yaitu berisi tentang dunia
yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak-anak yang berusia antara 6-13 tahun.
Secara
konseptual, sastra anak-anak tidak jauh berbeda dengan sastra orang dewasa (adult literacy). Keduanya sama berada
pada wilayah sastra yang meliputi kehidupan dengan segala perasaan, pikiran dan
wawasan kehidupan. Yang membedakannya hanyalah dalam hal fokus pemberian
gambaran kehidupan yang bermakna bagi anak yang diurai dalam karya tersebut.
Sastra
(dalam sastra anak-anak) adalah bentuk kreasi imajinatif dengan paparan bahasa
tertentu yang menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman dan pengalaman
tertentu, dan mengandung nilai estetika tertentu yang bisa dibuat oleh orang
dewasa ataupun anak-anak. Apakah sastra anak merupakan sastra yang ditulis oleh
orang dewasa yang ditujukan untuk anak-anak atau sastra yang ditulis anak-anak
untuk kalangan mereka sendiri tidaklah perlu dipersoalkan.
Siapapun
yang menulis sastra anak-anak tidak perlu dipermasalahkan asalkan dalam
penggambarannya ditekankan pada kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan
bagi mereka. Sastra anak-anak adalah sastra yang mencerminkan perasaan dan
pengalaman anak-anak melalui pandangan anak-anak.
Namun
demikian, dalam kenyataannya, nilai kebermaknaan bagi anak-anak itu terkadang
dilihat dan diukur dari perspektif orang dewasa. Sastra anak juga berfungsi sebagai
media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak serta menuntun
kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang
moral, pembentukan kepribaian anak, mengembangkan inajinasi dan kreativitas
serta memberi pengetahuan ketrampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam
sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan
gembira mendenganrkan cerita ketika dibacakan atau dikeklamasikan dan
mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan
emosinya.
Sastra anak yaitu sastra yang
ditulis oleh pengarang yang usianya
remaja atau dewasa, isi dan
bahasanya mencerminkan corak kehidupan dan kepribadian anak. Sastra anak-anak
adalah sastra yang ditulis oleh pengarang yang usianya masih tergolong
anak-anak, yang isi dan bahasanya mencerminkan corak kehidupan dan kepribadian
anak.
Salah satu karakteristik tugas
perkembangan anak adalah-anak adalah berkaitan dengan rasa ingin tahu yang
tinggi. Kecendrungan rasa ingin tahu yang sangat tinggi dapat dipenuhi dengan
melakukan beberapa aktivitas salah satunya adalah dengan membaca sastra anak
yang bergenre fantasi. Dalam konteks tersebut, karya sastra anak yang baik
adalah yang dapat mengajak anak-anak sebagai pembacanya ke perziarahan fantasi.
Karya sastra anak fantasi, baik cerpen maupun novel berkesempatan untuk
mendorong anak-anak memasuki wilayah imajinatif yang ukurannya tak terukur akal
pikiran sederhana. Cerita anak juga dapat mengembangkan daya fantasi. Melalui
daya fantasi anak dapat mengembangkan potensi kediriannya
B.
Hubungan
Perkembangan Anak dengan Sastra Anak
Sastra anak mengandung tema yang
mendidik alurnya lurus dan ridak berbelit-belit, menggunakan seting yang ada di
sekitar atau ada di dunia anak, tokoh dan penokohan mengandung peneladanan yang
baik, gaya bahasa di pahami tapi mampu mengembangkan bahasa anak, sudut pandang
orang yang tepat, dan imajinasi masih dalam jangkauan anak. Dari segi
perkembangan, sastra anak dapat:
·
Memberikan pengalaman dan perkembangan daya pikir
anak-anak ke arah yang lebih baik.
·
Memberikan pemahaman kosa kata baru dan logika bahasa/
merangkai kata,
·
Mengembangkan kepribadian anak dalam menyikapi
kehidupan, dan
·
Menjadikan anak lebih peka alam memasuki lingkungan
yang telah ada atau lingkungan yang baru sehingga anak mampu bersosialisasi
dengan baik.
Secara universal perkembangan berbagai aspek kejiwaan anak sesuai
dengan tingkat usianya akan melewati tahap-tahap tertentu. Para peneliti telah
mengidentifikasikan umur serta tahapan dan karakteristik perkembangan kejiwaan
anak yang meliputi aspek kognitif, bahasa, personalitas, moral. Setiap tahapan
perkembangan kejiwaan anak memiliki karakteristik yang berbeda.
Jika kita ingin menggairahkan kegiatan apresiasi sastra bagi anak-anak harus
disesuaikan dengan minat dan tingkat kesiapan anak atau perkembangab anak. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
1.
Tahap
Perkembangan Intelektual (kognitif)
Anak-anak,
sebagaimana manusia pada umumnya juga memiliki perbendaharaan pengalaman dan
pengetahuan yang mengarahkan aktivitas mereka dalam menanggapi diri sendiri dan
dunia luar. Perbendaharaan pengalaman dan pengetahuan yang mengarahkan
aktivitas anak-anak tersebut karakteristiknya berbeda-beda sesuai dengan
tingkat usia maupun kondisi lingkungan yang membentuknya. Ditinjau dari sudut
pandang psikologi kognitif, tingkat perkembangan tersebut dipilah menjadi 4
tahapan, yakni:
1)
Sensorimotor.
Usia
lahir sampai umur 2 tahun, pada tahap ini anak memiliki perbendaharaan
pengetahuan yang dibentuk berdasarkan tanggapan inderawi dan gerak tubuh. Pada
tahap sensori motor, yakni sejak anak lahir sampai usia sekitar 2 tahun, anak
belum mampu berbicara. Meskipun demikian anak secara alamiah telah berusaha
memahami berbagai bentuk realitas, aktivitas, maupun bentuk-bentuk kebahasaan.
Sebab
itulah meskipun tampak belum mengerti, kepada anak-anak perlu diperkenalkan
gambar dengan disertai cerita secara lisan. Aktivitas demikian akan merangsang
pembentukan persepsi dan kemampuan berbahasa anak, sekaligus juga
merangsang aktivitas berpikir anak.
Dalam usia 1,6─2 tahun anak akan menyukai aktivitas atau
permainan bunyi yang mengandung perulangan-perulangan yang ritmis. Anak
menyukai bunyi-bunyian yang bersajak dan berirama. Permainan bunyi yang
dimaksud dapat berupa nyanyian, kata-kata yang dinyanyikan, atau kata-kata
biasa dalam perkataan yang tidak dilagukan. Bunyi-bunyian ritmis akan memicu
tumbuhnya rasa keindahan pada diri anak. Hal dapat dijumpai dan atau perlu
dilakukan oleh ibu yang mengendong, menyanyikan, atau meninabobokan si buah
hati. Kesenangan anak terhadap hal-hal tersebut dapat juga dipahami bahwa anak
mempunyai bakat keindahan dan menyenangi hal-hal yang terasa indah di
inderanya. Permainan bunyi yang berwujud repetisi dan keritmisan merupakan
dasar penting bagi bangunan sebuah sajak.
2)
Praoperasional
Usia
2 tahun sampai 7 tahun, pada tahap ini anak memiliki perbendaharaan pemahaman
melalui pengamatan kemampuan bahasanya berdasarkan tanggapan indrawi yang
bersifat kongkret. Pada tahap ini anak belum bisa membedakan khayalan
dengan kenyataan. Cerita yang didengarnya tergambarkan sebagai sesuatu yang
seakan-akan sungguh-sungguh terjadi. Dalam tahap ini
anak mulai dapat mengoperasikan sesuatu yang
sudah mencerminkan aktivitas mental dan tidak lagi semata-mata bersifat fisik.
Karakteristik dalam tahap ini aantara lain adalah bahwa:
·
Anak mulai belajar mengaktualisasikan dirinya
lewat bahasa, bermain, dan menggambar (corat-coret).
·
Jalan pikiran anak masih bersifat egosentris,
menempatkan dirinya sbagai pusat dunia, yang didasarkan persepsi segera dan
pengalaman langsung karena masih kesulitan menempatkan dirinya di antara orang
lain. Anak tidak dapat memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain.
·
Anak mempergunakan simbol dengan cara elementer
yang pada awalnya lewat gerakan-gerakan tertentu dan kemudian lewat bahasa
dalam pembicaraan. Perkembangan kognitif pada saat ini yang secara luar biasa
adalah perkembangan bahasa dan konsep formasi.
·
Pada masa ini anak mengalami proses asimilasi di mana anak mengasimilasikan sesuatu
yang didengar, dilihat, dan dirasakan dengan cara menerima ide-ide tersebut ke
dalam suatu bentuk skema di dalam kognisinya.
Implikasi terhadap buku bacaan sastra yang sesuai dengan karakteristik
pada tahap perkembangan intelektual di atas antara lain adalah :buku-buku yang
menampilkan gambar-gambar sederhana sebagai ilustrasi yang menarik, buku-buku bergambar yang memberi kesempatan
anak untuk memanipulasikannya, buku-buku yang memberi kesempatan anak untuk
mengenali objek-objek dan situasi tertentu yang bermakna baginya, dan buku-buku
cerita yang menampilkan tokoh dan alur yang mencerminkan tingkah laku dan
perasaan anak. Anak usia 3 atau 4 tahun sudah dapat mendemonstrasikan
kemampuannya jika objek dan situasi yang dihadapkan kepadanya konkret dan
bermakna. Sifat egosentris pada anak akan membawanya untuk dapat menanggapi
cerita dengan mengidentifikasikan dirinya terhadap tokoh utama cerita, dan
karenanya anak akan mengalami proses asimilasi dengan melihat diri dan dunianya
dengan pandangan yang baru.
3)
Operasional konkret
Usia
7 sampai 11 tahun, pada tahap ini anak telah mampu memikirkan kenyataan lewat
perbendaharaan bahasanya dengan melakukan pemilahan dan penentuan waktu yang
didasarkan pada pengalaman yang bersifat konkret. Pada tahap ini anak mulai
dapat memahami logika secara stabil. Karakteristik anak pada tahap ini antara
lain adalah:
·
Anak dapat membuat klasifikasi sederhana,
mengklasifikasikan objek berdasarkan sifat-sifat umum, misalnya klasifikasi
warna, klasifikasi karakter tertentu.
·
Anak dapat membuat urutan sesuatu secara
semestinya, menurutkan abjat, angka, besar-kecil, dan lain-lain.
·
Anak mulai dapat mengembangkan
imajinasinya ke masa lalu dan masa depan; adanya perkembangan dari pola
berpikir yang egosentris menjadi lebih mudah untuk mengidentifikasikan sesuatu
dengan sudut pandang yang berbeda.
·
Anak mulai dapat berpikir argumentaif
dan memecahkan masalah sederhana, ada kecenderungan memperoleh ide-ide
sebagaimana yang dilakukan oleh dewasa, namun belum dapat berpikir tentang
sesuatu yang abstrak karena jalan berpikirnya masih terbatas pada situasi yang
konkret.
Implikasi terhadap buku bacaan sastra yang sesuai dengan
karakteristik pada tahap perkembangan intelektual di atas antara lain adalah
buku-buku bacaan yang memiliki karakteristik sebagai berikut: Buku-buku bacaan
narasi atau eksplanasi yang mengandung urutan logis dari yang sederhana ke yang
lebih kompleks, Buku-buku bacaan yang
menampilkan cerita yang sederhana baik yang menyangkut masalah yang dikisahkan,
cara pengisahan, maupun jumlah tokoh yang dilibatkan, Buku-buku bacaan yang
menampilkan berbagai objek gambar secara bervariasi, bahkan mungkin yang dalam
bentuk diagram dan model sederhana, Buku-buku bacaan narasi yang menampilkan
narator yang mengisahkan cerita, atau cerita yang dapat membawa anak untuk
memproyeksikan dirinya ke waktu atau tempat lain. Dalam masa ini anak sudah
dapat terlibat memikirkan dan memecahkan persoalan yang dihadapi tokoh
protagonis atau memprediksikan kelanjutan cerita.
4)
Operasi formal.
Usia
11 tahun keatas, Pada tahap ini anak telah mampu menyusun persepsi secara
simbolik, melakukan proses berpikir secara logis, membuat antisipasi
kemungkinan benar/salah secara hipotetis, serta menempuh kegiatan berpikir yang
bersifat abstrak.
Pada
usia 11-tahun ke atas, anak sudah mampu melakukan proses berpikir secara logis.
Pada tahap ini pun anak juga sudah mampu melakukan proses berpkir secara
abstrak sehingga anak sudah bisa diminta melakukan penafsiran berkenaan dengan
makna yang sifatnya tersirat. Pada sisi lain anak juga sudah bisa diminta
melakukan perbandingan antara isi yang termuat dalam karya sastra dengan
kenyataan dalam kehidupan, antara wawasan salah satu pelaku dalam karya sastra
dengan perilaku manusia dengan kenyataan kehidupan. Berdasarkan perbandingan
itu pun anak sudah bisa diminta memberikan pendapatnya dengan disertai alasan
secara logis.
Implikasi terhadap pemilihan buku bacaan sastra anak adalah
buku-buku bacaan cerita yang menampilkan masalah yang membawa anak untuk
mencari dan menemukan hubungan sebab akibat serta implikasi terhadap karakter
tokoh, buku-buku bacaan cerita yang menampilkan alur cerita ganda, alur cerita
yang mengandung plot dan subplot, yang dapat membawa anak untuk memahami
hubungan antarsubplot tersebut, serta yang menampilkan persoalan (atau konflik)
dan karakter yang lebih kompleks.
Penjelasan
di atas memberikan gambaran bahwa tingkat perkembangan anak menentukan
tingkat kesiapan mereka dalam meresepsi karya sastra. Sebagaimana penikmatan karya seni lain,
misalnya seni musik, seni tari, dan drama, penikmatan seni sastra juga sangat
ditentukan oleh tingkat perkembangan kemampuan berpikir dan tingkat
perkembangan pengalaman hidup penikmatnya. Sebuah karya seni yang baik belum
tentu bisa dinikmati semua orang. Begitu juga sebuah karya sastra yang baik
belum tentu bisa dinikmati anak-anak.
Meskipun
demikian bukan berarti bahwa harus ada pengkhususan penyediaan bahan
bacaan secara ketat karena karya sastra pada dasarnya dapat direalisasikan
pembaca dalam bentuk dan cara yang berbeda-beda. Ketika dua orang yang tingkat
usianya berbeda membaca buku cerita bergambar misalnya, anak yang usia nya
lebih tinggi dan telah mampu membaca akan menikmati cerita sebagaimana tertuang
dalam tulisan se-kaligus menikmati gambarnya. Sementara anak yang tingkat
usianya lebih rendah akan menikmati gambar dan sajian warna-warni pada gambar
yang tampak atraktif. Hal itu menunjukkan bahwa karya sastra bukan sekedar teks
yang terpapar melalui kata-kata dan kalimat, akan tetapi merupakan sebuah dunia
yang dapat direalisasikan kembali oleh pembacanya sesuai dengan modal
pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya.
2.
Tahap
Perkembangan Bahasa
Kemampuan
anak memahami karya sastra juga sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan
kemampuan berbahasanya. Perkembangan bahasa anak memiliki peranan yang sangat
penting dalam upaya mengembangkan kemampuan apresiasi sastra anak maupun
pengalaman bersastra pada anak. Sebagaimana pada perkembangan kognitif,
perkembangan bahasa anak juga ditentukan oleh tingkat usianya,
fase perkembangan bahasa anak meliputi tahap:
·
Random, Mulai lahir-12 bulan, pada tahap
ini karakteristik anak hanya mampu mengeluarkan bunyi sampai pada kemampuan melakukan
babling, misalnya bunyi ma-ma-ma.
·
Unitari, Usia 12-24 bulan, pada tahap
ini karakteristik anak menggunakan kata tertentu sebagai representasi kalimat,
misalnya “makan” sebagai representasi kalimat,”Saya minta makan”.
·
Perluasan, Usia 24-48 bulan, Kata-kata
Pivot yakni sebuah kata yang digunakan
dalam berbagai relasi kalimat misalnya: makan roti, makan apel, makan sup dan
sebagainya.
·
Struktural, Usia 48-60 bulan, Anak mampu menggunakan bahasa dalam
bentukkalimat sederhana berpola Subyek-Predikat-Obyek (SPO), misalnya “Saya
minta roti”.
·
Otomatik, usia 60-72 bulan, Anak mampu
menggunakan dan mengurutkan kalimat secara sitematis sekaligus sudah mampu
mengoreksi
·
Kreatif, usia 72 bulan ke atas, Anak
mampu memahami dan menggunakan kata-kata dengan acuan pengertian yang bersifat
abstrak. Anak juga telah mampu membuat ungkapan dan melakukan pemilihan
kata dan kalimat secara kreatif.
Masing-masing
jenis tahapan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Terdapatnya
sejumlah karakteristik yang berbeda-beda itu pada sisi lain juga berimplikasi
pada kegiatan apresiasi sastra pada anak-anak. Pada sisi lain perlu kepada
anak-anak perlu juga dilakukan kegiatan apresiasi sastra yang mendorong
terjadinya akomodasi guna meningkatkan kemampuan berbahasa dan daya kognitif
anak.
Dalam proses akuisisi bahasa secara alami, anak memperoleh bahasa
dengan menirukan, melihat dan menirukan orang berbicara, namun sebenarnya anak
tidak semata-mata sebagai peniru belaka. Ada bukti-bukti yang kuat bahwa anak
jauh lebih banyak memahami bahasa daripada yang dapat diproduksi, dan hal itu
sungguh di luar dugaan.
Implikasi pemahaman terhadap proses pemerolehan bahasa anak bagi pemilihan buku bacaan sastra adalah
bahwa pemilihan bacaan itu mesti didasarkan pada materi yang dapat dipahami
anak, yang dituliskan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dibaca dan
dipahami anak, dengan mempertimbangkan keserdahanaan (atau kompleksitas)
kosakata dan struktur namun, sekaligus juga berfungsi meningkatkan kekayaan
bahasa dan kemampuan berbahasa anak.
Terdapatnya
hubungan yang erat antara perkembangan bahasa dengan kemampuan mengapresiasi
sastra bukan berarti bahwa apresiasi sastra anak hanya berhubungan dengan
bahasa. Dalam kenyataannya apresiasi sastra anak juga juga dikondisi oleh gambar,
warna, ukuran buku, tulisan, bahkan sampai ke jenis kertas yang digunakan. Pada
tahap usia prasekolah sampai sekitar kelas 3 sekolah dasar misalnya, buku yang disediakan
untuk mereka adalah buku berukuran besar dengan disertai gambar yang menarik. Gambar
yang tampak menarik lebih mampu membangkitkan perhatian anak, dalam konteks
yang lebih luas juga akan lebih membangkitkan imajinasi anak dalam membayangkan
suatu realitas.
3.
Tahap
Perkembangan Moral
Membaca
karya sastra ataupun mendengarkan cerita, bagi anak-anak merupakan suatu
hiburan. Sementara dalam sudut pandang orang dewasa, melalui kegiatan tersebut
anak diharapkan juga dapat menemukan berbagai ajaran dan nilai kehidupan
yang bermanfaat dalam memperkaya wawasan moralitas anak. Untuk mencapai tujuan
tersebut kita perlu menyadari bahwa sebagaimana perkembangan kognitif dan
perkembangan bahasa, wawasan yang terkait dengan aspek moralitas itu juga
memiliki fase-fase perkembangan yang antara anak yang satu dan yang lain bisa
saja berbeda-beda.
Selain mempelajari perkembangan kognitif anak, Piaget juga mendalami
hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan moral. Menurut Piaget perbedaan
nyata antara anak dan dewasa adalah bahwa anak memiliki “dua moral”. Anak
mungkin saja mengubah interpretasinya terhadap dilema konflik dan moral dalam
cerita. Penilaian anak terhadap moral bergerak dari keterikatannya pada dewasa
ke keterpengaruhannya pada kelompok dan berpikir bebasnya.
Perubahan-perubahan penilaian moral anak yang dimaksud antara lain
adalah sebagai berikut :
·
Penilaian anak kecil terhadap masalah atau tindakan baik dan buruk
berdasarkan kemungkinan adanya hukuman dan hadiah yang diperoleh dari dewasa;
artinya, anak masih terkendala oleh aturan yang dibuat oleh dewasa. Pada usia
anak yang lebih lanjut terdapat standar penilaian tentang baik dan buruk
tersebut dari kelompoknya, maka kemudian anak mulai secara sadar memahami
situasi kapan dapat membuat aturan sendiri.
·
Penilaian tingkah laku dalam kacamata anak kecil hanya dapat
dibedakan ke dalam baik dan buruk, tidak ada alternatif lain. Pada usia anak
yang lebih kemudian terdapat kemauan untuk mempertimbangkan lingkungan dan
situasi yang membuat legitimasi adaanya perbedaan pendapat.
·
Penilaian anak kecil terhadap suatu tindakan cenderung didasarkan
pada konsekuensi yang terjadi kemudian tanpa memperhatikan pelakunya. Namun,
dalam usia selanjutnya sebagian anak mulai mengubahnya dengan memperhatikan
aspek motivasi daripadasekadar konsekuensi untuk menentukan kelayakan tingkat
kesalahan.
·
Pandangan anak kecil terhadap tingkah laku buruk dengan hukuman
berjalan bersama, semakin besar kesalahan akan semakin berat hukumannya. Namun,
bagi anak dalam usia yang lebih kemudian, mereka tidak akan begitu saja
menerima keadaan itu. Anak mulai tertarik untuk mencari hukuman yang lebih
fair berdasarkan aturan yang ada di dalam kelompok.
Implikasinya bagi seleksi bacaan sastra anak antara lain dapat dikemukakan
sebagai berikut:
·
Pahami dengan baik
karakteristik perkembangan moral anak tiap tahap kemudian pilih bacaan yang
sesuai. Misalnya, anak usia tiga tahun baik untuk dipilihkan bacaan yang
melukiskan persetujuan orang tua yang berupa tingkah laku, tindakan, dan
kata-kata yang baik. Anak usia empat tahun baik untuk dipilihkan bacaan yang
dapat melatih anak untuk bertanggung jawab dan melakukan sesuatu yang sesuai
dengan aturan sosial,
·
Pilih buku bacaan yang
mengandung dan menawarkan unsur moral, alasan pemilihan moral tertentu oleh
tokoh anak, atau yang mengandung nasihat-nasihat tentang moral sebagai “model”
bertingkah laku.
Pemahaman
nilai moral bagi anak-anak melalui kegiatan sastra pada dasarnya
lebih banyak merujuk pada penggambaran model yang tersajikan secara hidup,
bukan melalui penjelasan secara langsung.
4.
Tahap
perkembangan resepsi sastra anak
Sewaktu
mendengarkan atau membaca cerita, selama anak telah memahami bahasa yang
digunakan, anak akan berusaha menggambarkan realitas yang didengar atau
dibacanya sesuai dengan skema yang ada. Dalam hal demikian, dengan kata
lain pengaktifan skema pada diri pendengar atau pembaca senantiasa bersifat
jamak karena dalam proses memahami sesuatu yang didengar atau dibaca itu pendengar
atau pembaca akan menghubungkannya kembali dengan perbendaharaan
pengalaman dan pengetahuan secara asosiatif.
Dalam
hal demikian pemahaman terbentuk melalui penghubungan antara sesuatu yang
diketahui dengan sesuatu yang baru sejalan dengan rekonstruksi yang dilakukan
oleh pendengar atau pembaca. Ketika menghubungkan sesuatu yang telah diketahui
dengan sesuatuyang baru terjadi tanggapan yang bersifat eksploratif.
Ketika
anak mendengar cerita Joko Kendil yang disampaikan ibunya, misalnya,
pikiran anak tentu kembali membayangkan sesuatu yang disebut kendil. Seandainya
dalam skema anak tidak terdapat pemahaman tentang kendil, maka sebutan
Joko Kendil tidak akan bermakna apa-apa. Tetapi bagi anak yang
memiliki pemahaman tentang kendil, dalam kesadaran batinnya tumbuh eksplorasi
berkenaan dengan kendil yang dihubungkannya dengan sosok manusia yang
disebut sebagai Joko Kendil. Apabilasemula belum pernah muncul bayangan
tentang manusia yang kecil, bulat, pendek sebagaimana wujud kendil, setelah
mendengar atau membaca cerita Joko Kendil muncul gambaran baru
yang semula tidak ada dalam perbendaharaan pe-mahamannya.
Sejalan
dengan pemaparan lakuan dan peristiwa yang didengar atau dibacanya, anak juga
berusaha menentukan siapa pelaku dalam cerita yang didengar atau dibacanya.
Sejalan dengan eksplorasi yang dilakukannya, anak juga akan berusaha
menggambarkan ciri sosok setiap pelaku dalam cerita yang dibacanya. Apabila
cerita tersebut disajikan denga disertai gambar, eksplorasi yang dilakukan anak
tidak terlalu rumit. Namun apabila cerita tersebut hanya didengar secara lisan,
anak akan mengalami kesulitan. Sebab itulah dalam penyampaian cerita secara
lisan dituntut keterampilan pencerita memaparkan ceritanya secara hidup dan
kaya. Dengan cara demikian, asosiasi anak akan terbawa ke sebuah kenyataan yang
seakan-akan sungguh ada dan terjadi. Secara emosional akhirnya anak merasa
sungguh-sungguh terlibat sehingga cerita yang didengar juga terasa lebih
menarik.
Perbedaan
tingkat resepsi anak-anak secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
·
Usia 0-2 tahun, Pada usia tersebut anak
dapat diibaratkan sebagai lembar kertas putih yang terbuka. Pada usia tersebut
anak belum mampu berbahasa. Peranan orang tua apabila dihubungkan dengan
kegiatan apresiasi sastra adalah pada upaya menumbuhkan kemampuan menanggapi
realitas, menggunakan bunyi-bunyi kebahasaan, dan menggerakkan keterampilan
motorik anak. Pada usia tersebut, orangtua selain dapat memberikan mainan yang
memiliki warna atraktif maupun bunyi-bunyian, orang tua seyogyanya juga sering
menyampaikan kata-kata ataupun nyanyian yang memiliki ritme bunyi tertentu,
misalnya puk-ami-ami belalang kupu, adik makan nasi kalau malam minum
susu.
·
Usia 2—4 tahun, Pada usia ini orang tua
sudah bisa memulai menyampaikan cerita secara lisan ataupun membacakan cerita.
Apabila cerita tersebut dibacakan, sangat baik apabila cerita yang
dibacakan itu dilengkapi dengan gambar sehingga selain membacakan orang tua
juga dapat menghubungkan kata ataupun peristiwa yang dibacakan dengan gambar
yang tersaji dalam cerita. Cerita yang disampaikan baru cerita yang
berfokus pada seorang pelaku utama dan pada satu peristiwa.Melalui kegiatan ini
anak selain diajari berkenalan dengan realitas juga diajar memahami
kosakata. Sambil bercerita orang tua juga dapat mengemukakan petunjuk tertentu
yang secara konkret berkaitan dengan kehidupan sehari-hari anak, misalnya cara
minum, cara makan, kegiatan mandi, dan sebagainya.
·
Usia 5—7 tahun, Pada tahap ini anak
sudah mampu membaca. Meskipun demikian dampingan orang tua masih sangat
diperlukan. Bentuk pedampingan itu sangat diperlukan misalnya dalam bentuk
pertanyaan, siapa, mengapa, dan bagaimana seandainya. Pada sisi lain, orang
tua juga dapat memancing pendapat dan penilaian anak terhadap tokoh, peristiwa,
maupun bentuk perilaku para tokoh. Buku yang dibaca anak seyogyanya sejenis
buku bergambar dalam ukuran besar dengan warna-warni yang menyolok. Dari proses
tersebut diharapkan tumbuh dialog antara anak dengan orang tua maupun antara
anak dengan jalan pikirannya sendiri.
·
Usia 7—9 tahun, Anak sudah mulai bisa
memahami cerita secara episodik karena anak sudah bisa membuat akumulasi satuan
cerita, menyusun rangkaian cerita, menentukan ciri hubungan pelaku yang satu
dan yang lain, serta memahami hubungan pelaku dengan latar belakang cerita yang
berupa empat maupun waktu. Pada tahap ini anak juga sudah mulai bisa menikmati
ungkapan dan paduan bunyi dalam puisi. Sewaktu membaca cerita maupun puisi
orang tua/guru diharapkan bisa menjadi pendamping dalam bentuk menanyakan tokoh
yang disukai dan tidak disukai, menanyakan alasannya, membandingkan peristiwa
dalam cerita apabila dibandingkan dengan kehidupan sehari-hari, serta meminta
pendapat dan tanggapan anak dengan dengan disertai alasan secara logis.
·
Usia 9—12 tahun, Pada tahap ini anak
sudah mampu memahami makna tersirat maupun jalinan hubungan secara logis. Anak
juga sudah terampil membedakan antara fantasi dengan kenyataan. Sebab itulah
apabila pada tahap usia sebelumnya anak lebih banyak memperhatikan cerita
binatang maupun fantasi dalam bentuk dongeng, pada tahap ini anak sudah
mulai memiliki perhatian pada cerita fiksi realistik, cerita petualangan,
maupun cerita misteri.
·
Usia 12—14 tahun, Pada tahap ini anak
secara ktif sudah mampu menghubungkan gambaran pelaku dengan keberadaan dirinya
sendiri dihubungkan dengan posisinya dalam kehidupan. Anak juga sudah mampu
menghubungkan isu-isu dalam kehidupan de-ngan peristiwa yang tergambarkan dalam
karya sastra. Pusat perhatian terhadap cerita juga sudah bersifat ganda
sehingga anak sudah mampu memahami cerita dalam bentuk novel dengan plot ganda.
Kegandaan perhatian juga ditunjukkan oleh kemampuan anak dalam membaca karya sastra
sekaligus sambil menggambarkan apa yang dibaca apabila dihubungkan dengan
kehidupan secara konkret.
·
Usia 14 tahun—ke atas, Pada tahap ini
anak sudah mulai berusaha menemukan identitas diri di tengah kelompok
kehidupannya. Anak juga berusaha memahami bentuk-bentuk hubungan personal yang
dianggap tepat dan memberikan rasa aman dalam pergaulan. Bacaan yang menggambarkan
hubungan interpersonal, kesetiaan, keberanian, dan berbagai sosok ideal lain
merupakan bacaan yang menarik perhatian anak. Anak-anak juga mulai berusaha
menemukan sendiri nilai-nilai kehidupan yang dianggap relevan dengan konteks
kehidupannya secara kritis.
C.
Manfaat
Sastra bagi Anak
Dari
uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa terbentuknya minat dan kemampuan
apresiasi sastra anak idealnya terbentuk dan terkembangkan sejak dini.
Pembentukan dan pengembangan sejak dini tersebut nilai manfaatnya bukan
sekedar berkaitan dengan pengembangan minat dan apresiasi sastra
anak. Dalam konteks yang lebih luas, pembentukan dan pengembangan apresiasi
sastra pada anak itu juga bermanfaat dalam pengenalan realitas, pengembangan
kemampuan berbahasa, pengembangan memahami bentuk-bentuk hubungan sosial,
maupun pengembangan kemampuan memahami diri sendiri dan orang lain.
Secara
psikologis aktivitas mengapresiasi sastra tersebut juga akan mengasah kepekaan
emosi, mengembangkan daya imajinasi. Sebagaimana pembaca sastra pada umumnya,
anak-anak mengapresiasi karya sastra juga untuk mendapatkan kesenangan.
Kesenangan tersebut dalam dunia anak-anak bisa diperoleh lewat pengamatan
gambarnya, permainan paduan bunyi, gambaran tokoh, peristiwa, ataupun isi dalam
karya sastranya. Terdapatnya perbedaan tingkat usia dan tingkat perkembangan
sebagaimana dikemukakan di atas, sangat menentukan bentuk-bentuk kesenangan
yang diperoleh anak.
Anak
usia 2 tahun misalnya, mendapatkan kesenangan lewat gambar, sementara anak usia
12 tahun akan mendapatkan kesenangan, selain lewat gambar juga lewat sesuatu
yang dicitrakan, lewat peristiwa, maupun rangkaian ceritanya.Pada anak-anak
yang telah mampu menguasai bahasa sebagaimana digunakan dalam penceritaan,
kegiatan mengapresiasi sastra akan membawa anak keluar dari rutinitas
kesehariannya. Dalam kondisi demikian, anak akan bertindak sebagai pengamat
kehidupan sebagaimana tertuang dalam teks yang didengar atau dibacanya. Anak
akan mendapatkan gambaran berbagai kemungkinan pemecahan masalah berkenaan
dengan sejumlah pertanyaan yang bisa jadi diam-diam sering mengungkungnya
tetapi tidak pernah terungkapkan kepada orang tua maupun orang lain pada umumnya.
Alasan
lain mengapa anak mengapresiasi sastra bisa juga karena keinginan mendapatkan
pemahaman tentang orang lain maupun kehidupan pada umumnya. Dorongandemikian
terjadi karena anak-anak umumnya berusaha untuk menempatkan dirinya secara
tepat dalam relasi dengan orang lain maupun berbagai kenyataan yang dihadapinya
secara tepat. Dalam kesadaran batin anak juga tumbuh rasa ingin tahu tentang
bagiamana ciri orang dewasa, bagaimana ciri anak-anak yang berada di luar
lingkungannya, bagaimana gambaran Bali, gambaran kota Jakarta, dan sebagainya.
Sebab itulah penyediaan atapun penyampaian teks sastra bagi anak
seyogyanya juga memperhatikan kualitas informasi isi sekaligus kemudahan
informasi tersebut untuk dipahami anak. Melalui karya sastra yang
diapresiaisinya, anak-anak juga ingin memahami kosakata, ungkapan, kalimat
maupun berbagai bentuk penggunaan bahasa dalam konteks maupun ciri hubungan
yang berbeda-beda.
Pada
anak-anak usia 12 tahun ke atas, melalui bacaan sastra mereka belajar mengenal
berbagai bentuk “bahasa gaul” maupun bahasa Indonesia dialek Jakarta.
Dalam hal demikian tidak mengherankan apabila anak-anak tersebut memiliki sejumlah
penulis favorit yang dalam pandangan orang dewasa bisa jadi masih luput
dari perhatian. Selain itu, melalui kegiatan puisi anak-anak akan mendapatkan
contoh berbagai bentuk ungkapan yang dianggap ringkas, indah, dan
tidak memberi kesan murahan.
Dalam
hal demikian tidak mengherankan apabila mereka akan memanfaatkan ungkapan dalam
puisi itu saat mereka menulis buku harian, menulis surat untuk teman, maupun
ketika melakukan pembicaraan dengan teman. Kemungkinan yang lain, anak-anak
senang mengapresiasi karya sastra karena merasa bahwa dengan membaca karya
sastra mereka juga mendapatkan sejumlah pengetahuan. Melalui karya sastra
mereka mungkin bisa mendapatkan gambaran tentangciri kehidupan kelompok, ras,
maupun suku yang berbeda. Melalui karya sastra mereka juga mendapatkan
gambaran tentang kehidupan binatang, kehidupan satwa di hutan, maupun kehidupan
“tempoe doeloe”sebagaimana tergambarkan lewat cerita rakyat ataupun cerita
sejarah yang dibacanya.
Apabila
cerita yang dibaca itu dalam bentuk biografi, anak-anak juga akan mendapatkan
gambaran kehidupan tokoh yang secara tidak langsung dapat djadikan teladan
dalam perjalanan hidupnya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Perkembangan anak untuk mencapai tingkat kedewasaan sesuai dengan
yang diinginkan tidak akan terjadi dengan sendirinya tanpa diusahakan dengan
pemberian bantuan secara sadar dan terencana. Salah satu bantuan yang diberikan
kepada anak adalah dengan menyediakan bacaan sastra yang sesuai dengan tingkat
perkembangan jiwa anak.
Ketepatan penyediaan bacaan bagi anak akan berdampak positif bagi
perkembangan anak selanjutnya secara komprehensif. Salah satu dampak itu adalah
kesadaran pentingnya membaca oleh anak untuk memperoleh berbagai pengetahuan,
pengalaman, dan kenikmatan.
Dengan adanya kesadaran itu dapat diharapkan setelah menjadi
manusia dewasa kelak anak-anak itu tetap mau membaca untuk mengembangkan
kepribadian dan wawasan hidup. Oleh karena itu, penyediaan bacaan kesastraan
bagi anak-anak harus menjadi salah satu hal yang menjadi prioritas kita.
B.
SARAN DAN KRITIK
Dalam makalah ini mungkin masih banyak
terdapat kesalahan atau kekurangan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan
kritik maupun saran-saran dari pembaca khususnya.